Mencemaskan Hari Perhitungan

Minggu, 10 Maret 2013

Al-Harits Al-Muhasibi
CELAKALAH engkau, wahai jiwa (an-nafs)! Seakan-akan engkau tidak beriman kepada Hari Penghitungan amal, dan engkau mengira, kalau engkau telah mati akan lolos dan terbebas dari tanggung jawab? Angan seperti itu jauh sekali dari kebenaran. Apakah engkau mengira, akan dibiarkan sia-sia begitu saja?
Bukankah engkau dulu hanya nuthfah yang berasal dan sperma yang dipancarkan, kemudian menjadi segumpal darah, lantas Dia menyempurnakan penciptaan-Mu? Bukankah Dia memiliki kuasa untuk menghidupkan orang-orang yang telah mati? Jika (ketidakberimananmu) itu memang pandangan yang terang-terangan engkau tampilkan (izharuka), betapa kafir dan bodohnya engkau!
Apakah engkau tidak pernah berpikir tentang dari apakah engkau diciptakan? Dia yang telah menciptakanmu dari nuthfah, kemudian menentukan bentuk bagimu. Lalu Dia memudahkan jalanmu. Setelah itu Dia mematikan dan menenempatkanmu ke liang lahat. Apakah engkau mendustakan firman-Nya: “Kemudian, apabila Dia men ghendaki, maka Dia akan membangkitkannya.” (Q.s. ‘Abasa: 80).
Jika engkau memang tidak mendustakannya, lalu mengapa engkau tidak sungguh-sungguh mempersiapkan diri? Seandainya seorang Yahudi memberitahumu tentang makanan favoritmu yang membahayakan kesehatanmu dan akan menambah parah penyakitmu, niscaya engkau bisa menahan diri dan bersabar untuk tidak menyantapnya. Engkau akan berusaha sekuat tenaga menahan diri. Lalu, apakah nasihat para Nabi bagimu tidak lebih berarti daripada perkataan seorang Yahudi?
Bukankah telah engkau ketahui, wahai jiwa, bahwa kematian adalah janji yang pasti, bahwa kuburan adalah rumahmu, tanah adalah tempat tidurmu, ulat-ulat adalah teman yang setia menemanimu, dan kegoncangan yang dahsyat sedang menunggu di hadapanmu?
Siagalah, duhai jiwa, pada hari hanya kepada Allah, tanggung jawab terhadap yang dilakukan —dan yang Dia larang— terhadap dirinya, bahwa Dia tidak akan meninggalkan satu orang hamba pun, sampai Dia akan menanyakan tanggung jawab atas semua amalnya; yang kecil dan yang besar, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Maka pikirkanlah, wahai jiwa, dengan tubuh yang mana engkau akan berdiri di hadapan Allah. Dengan lisan apa engkau akan menjawab. Persiapkanlah jawaban atas segala permintaan tanggung jawab, dan jawaban itu yang sesuai dengan sebenarnya. Berbuatlah sesuatu untuk sisa usiamu, di hari-hari dunia yang begitu singkat demi hari-hari yang begitu panjang kelak, di rumah yang dapat sirna ini demi persiapan bagi tempat kediaman yang abadi (dar maqam); di dunia yang penuh keletihan dan duka cita demi surga tempat Kenikmatan (dar na’im) dan Keabadian (khulud). Berbuatlah, sebelum engkau bertindak, entaskanlah dirimu dan dunia —dengan pilihan bebas— seperti keluarnya orang yang dibebaskan, sebelum engkau mengentaskan dirimu dan dunia tanpa pilihan. Dan jangan engkau lekas merasa bahagia atas kemegahan dunia yang diberikan kepadamu, karena “berapa banyak orang yang tenggelam dalam kebahagiaan yang semu itu menjadi lalai; dan berapa banyak orang yang lalai itu tidak menyadari.”
Maka, celakalah orang yang mendapatkan kecelakaan, tapi tidak menyadarinya. Dia tertawa ria, bersenda-gurau, bermain-main, bersuka ria, makan dan minum sepuasnya, lalu telah ditetapkan dalam Kitab Allah bahwa dia menjadi kayu bakar di neraka.
Oleh karena itu, pandanganmu terhadap dunia hendaklah dengan penuh pertimbangan, dan usahamu dalam mendapatkannya adalah karena desakan hidup (idh thiraran).
Bahwa keterputusanmu dengannya adalah atas dasar pilihan, dan pencarianmu akan rumah akhirat adalah prioritas. Dan jangan sampai dirimu termasuk di antara orang yang tidak bisa berterima kasih atas apa yang telah diberikan, yang meminta lebih dan apa yang didapat, yang melarang orang tapi dia sendiri melakukannya.
Celakalah apa yang ada dalam dirimu melangkah di hadapan Allah, Pelindungmu (Mawlaka), hilangkan harapan berangkat (menghadap Allah) untuk memberi alasan (shajh). Janganlah engkau menyibukkan diri dengan kesibukan yang memalingkan dari zikir kepada-Nya. Janganlah engkau “mengklaim” memiliki persiapan untuk memberi jawaban kepada-Nya sesuai dengan keadaanmu dulu ketika di dunia. Karena, jika Dia menghidupkanku sekali lagi dengan sifat kejujuran (ash-shidq) lebih menenangkan bagi kalbumu (hai jiwa), ketimbang Dia menghidupkanku dengan sifat dusta.
Demi Allah, tidaklah orang-orang yang dalam kejujuran (ash-shaddiqin) itu dapat menguasai akal pikirannya saat sedang (dalam) pertanggungjawaban setelah sebelumnya mereka itu dalam kebingungan. Kemudian kesadaran akan dikembalikan kepada mereka demi pemaparan alasan yang kuat atas mereka yang telah mendapatkan kemurkaan, untuk ditempatkan ke dalam azab-Nya, sementara mereka meminta maaf kepada-Nya dan menyesali din mereka sendiri. Karena, Dia swt. menetapkan keputusan kepada mereka atas pengabaian mereka akan hak-Nya, dan kenekatan mereka atas pelanggaran laranganlarangan-Nya. Juga agar Dia memilah dan antara orang-orang yang jujur jawaban yang tepat, lantas menerima jawaban mereka itu, menentramkan mereka yang semula merasa takut, dan membuat mereka senang dengan penerimaan-Nya, sebagai kompensasi (pengganti) dan apa saja yang dulu mereka tampik di dunia. Meskipun begitu, pastilah ketika mereka hendak membaca kitab-kitab (amal) mereka dan ketika Allah memulai pertanyaan seputar pertanggungjawaban dari mereka, kecemasan yang dahsyat dan ketakutan yang luar biasa lebih dulu membuat mereka bergetar.
Wahai jiwa, celakalah engkau! Berbuatlah, karena Dia telah mengasihani pengaduanmu, sehingga Dia akan mengurangi cobaan kepadamu Di manakah akan engkau sembunyikan keburukan-keburukanmu selama di dunia dan pengawasan-Nya, dengan ilmu-Nya tentang keburukan-keburukan yang telah engkau lakukan di masa lalu?
Ke mana engkau akan mengelak dan meloloskan diri esok dan ‘aradh (pemaparan amal-amal) di hadapan-Nya? Engkau akan melihat semua keburukan-keburukanmu, dan pendengaran atas perkataanmu sendiri yang menyebutkan aib-aibmu.
Celakalah engkau ... oleh sebab itu janganlah engkau hidup di dunia, kecuali dengan memuji-Nya. Janganlah engkau menjalani beragam keadaanmu, kecuali dengan penyesalan. Jangan engkau mempergunakan waktu pagi maupun melakukan perjalanan, kecuali dengan rasa malu —untuk tergelincir sebagai orang yang berpaling— hingga nanti berdiri menghadap-Nya, dan (ingatlah) pertanyaanNya kepadamu —demi Tuhan— pada setiap keadaanmu, sebelum pertanyaan-Nya (yang sebenarnya) pada Hari Kebangkitan (yaum annusyur).
Lalu di manakah kalbumu pada saat seperti ini, wahai orang bodoh? Di manakah perasaanmu, wahai orang yang lalai? Kalau saja bisa terjadi —meski hanya dalam angan— engkau tidak dijadikan sebagai makhluk yang diciptakan, atau jika engkau memang telah diciptakan, engkau mengandaikan tidak termasuk dari orang-orang yang dibangkitkan, niscaya engkau akan memilihnya, dan lebih menyukainya.
Tapi, mustahil! Maksiat yang telah engkau lakukan telah ditetapkan kepadamu, dan Dia Maha mengetahui semua perbuatan-perbuatan dosamu, telah menghitung tanpa meninggalkan satu pun perbuatan-perbuatan maksiatmu, sehingga tidak akan pernah lupa, dan telah menuliskannya, maka ia tidak akan terhapus. Engkau memahami bahwa Sang Raja Tertinggi mengetahui ujian-ujian yang menimpamu, kemudian proses kembali kepadanya tak ada keraguan lagi di dalamnya. Lalu, malapetaka yang dahsyat tidak sanggup ditanggung oleh lapisan langit, tidak pula gunung-gunung yang berdiri kokoh menjulang di bumi, disusul ma’radh (pemaparan amal-amal) di hadapan Dzat yang memiliki kemuliaan dan kebesaran (al-kibriya’), lantas jika saja proses kembali ke hadirat Allah ‘azza wa jalla itu adalah bersama orang-orang yang celaka menuju kepada azab, betapa deskripsi tentangnya benar-benar nyata — kepedihannya itu lebih berat, rasa sakit di dalamnya diketahui, agar dahsyatnya jilatan apinya pada hati dapat dirasakan, dengan segala kedukaan yang tak bertepi, dan kesedihan yang tak dapat divisualisasikan.
Kemudian para penyihir bersatu untuk mengalahkan Kalim-Mu dengan sihir mereka, jika sampai mereka bisa mengalahkannya, mereka akan lebih berani di kerajaannya, dan dekat kepadanya. Maka hal itu tidak mencegah-Mu —dengan maqam mereka memperturutkan kekafiran dan aliansi mereka bersama Fir’aun dengan memuliakannya sebagai tuhan yang mereka angkat selain-Mu— untuk bersikap lembut kepada mereka dengan rahmat-Mu, mengaruniai mereka dengan Kemurahan-Mu, dan mengasihi mereka dengan kedermawanan-Mu. Lalu Engkau bukakan penglihatan mereka akan kebodohan mereka dan Engkau menyadarkan mereka atas tindakan aniaya terhadap diri mereka sendiri, Engkau lalu mengukuhkan pengakuan mereka akan Ketuhanan-Mu dan ketulusan mereka dalam pengakuan akan Keagungan-Mu.
Engkau juga menyadarkan para penyihir itu akan kekerdilan dan kelemahan Fir’aun, sehingga kehidupan dunia menjadi kecil nilainya di kalbu mereka, membuat mereka memandang ringan terhadap siksaan pemotongan tangan-tangan dan kaki-kaki mereka demi perolehan akan keridhaan-Mu dan kesabaran demi iman mereka kepada-Mu. Engkau telah memudahkan bagi mereka kebahagiaan nikmat di surga, dan memastikan perasaan takut pada azab-Mu di kalbu mereka, sehingga mereka berkata-kata dengan kalamMu dalam maqamat mereka, seolah-olah mereka telah menempuh dalam waktu yang Cukup lama dalam ketaatan-Mu dan pengkajian ilmu-ilmu dan kitab-kitab suci-Mu.
Kemudian Engkau memberi kearifan kepada mereka itu; bahwa karunia iman kepada-Mu yang Engkau limpahkan kepada mereka, tidak akan sempurna tanpa-Mu; bahwa ancaman yang diberikan Fir’aun dan kemudian penyaliban mereka, tidak akan mampu ditanggung mereka dengan sabar, kecuali dengan karunia dan taufiq-Mu; dan Engkau telah menggugah kesadaran mereka tatkala Engkau menyelamatkan mereka dengan memberi kearifan akan kebutuhan mereka kepada ampunan dan sokongan dari-Mu. Mereka semua memohon, “Ya Tuhan kami, limpahkan kepada kami kesabaran dan wafatkan kami dalam keadaan berserah diri (Muslimin).“ (Q.s. al-A’ raf: 126).

Wahai Dzat Yang tidak ada tuhan selain Engkau. Wahai Yang Maha terdahulu (Qadim), dimana tidak ada sesuatu pun selain Dia. Wahai Sang Pencipta yang tidak ada pencipta bersama-Nya. Wahai Satu-satunya Yang memiliki sifat-sifat terbaik, yang tidak ada keburukan pada-Nya. Wahai Penolong orang-orang yang beriman sebelumku. Wahai Yang menjadi Tuan bagi para penyihir (Fir’aun itu), yang telah kafir dan menjadi pelaku-pelaku dosa, namun (kini) justru mendapatkan rahmat-Mu, dan Engkau berbelas kasih kepada mereka dengan kelembutan-Mu. sumber www.sufinews.com

Daftar Blog